Minggu, 19 Desember 2010

Akhirnya ga karuan

Ketika bergabung untuk pertama kalinya dalam pengalaman pertama pula dalam dunia karier atau pekerjaan. Saya merasa tertantang ketika direksi mem"push" saya untuk menyumbangkan ide yang berkaitan dengan background akademi saya dalam bidang manajemen. Beliau memberikan kepercayaan kepada saya untuk berkoordinasi dengan salah satu provider untuk membangun rancangan sistem "remote" manajemen di proyek dengan perangkat teknologi tinggi. Sebelumnya saya hanya menindaklanjuti dari pertemuan yang di awali direksi dalam membicarakan visi tersebut kepada provider yang telah di undang direksi.
Pada dasarnya saya telah meragukan "proyek" ini bisa berjalan. Selama beberapa bulan saya bekerja di sini saya mengamati dengan menanyakan bagaimana perusahaan ini berjalan kepada rekan kerja saya. Beberapa sebagian dari rekan kerja pesimis akan perkembangan sistem yang mungkin di terapkan. Pasalnya, perusahaan ini perusahaan jasa kontraktor dengan manajemen keluarga.
Di waktu yang pernah berjalan dalam mengoptimalkan perkembangannya perusahaan ini berupaya meningkatkan kemajuan melalui training karyawan. Manajemen mendatangkan motivator dalam membangkitkan jiwa kepemimpinan karyawan. Berharap "stimulan" tersebut dapat merubah cara kerja karyawan sehingga produktifitas karyawan dapat meningkat dalam mencapai tujuan perusahaan. Hasil dari training yang pernah berjalan berupa kesepakatan dalam bentuk coretan tanda tangan karyawan dalam perumusan visi dan misi perusahaan. Akan tetapi pada kenyataannya upaya itu tak berjalan semestinya. Karyawan merasa bahwa tak ada perubahan yang berarti dalam pekerjaan dan kariernya.
Menanggapi upaya direksi dalam melakukan peningkatan teknologi pengendalian manajemen proyek seharusnya didahului dengan konsistensi dan komitmen manajemen untuk terus menganalisis dan mengevaluasi sistem yang telah berjalan, sedang berjalan, dan akan berjalan. Diperlukan desain dan perencanaan yang matang dalam mengidentifikasi dan merumuskan setiap permasalahan yang ada pada sistem tersebut. Selain itu hal yang sangat fundamental dari upaya tersebut adalah kesiapan SDM dan manajemen dalam merubah budaya kerja dan keterbukaan semua personil perusahaan untuk terus optimis guna mencapai kemajuan yang akan datang. Sederhananya manajemen pun lebih dalam lagi menguras pemikirannya dalam memotivasi karyawan baik berupa kesepakatan-kesepakatan imbalan "reward" pun disisi lain adanya sangsi-sangsi "punishment". Disinilah di tuntut keterlibatan seluruh elemen perusahaan dalam mencapai kesepakatan tersebut. Tentunya hal itu berguna sebagai harmonisasi upaya keras perubahan sistem yang akan dijalankan.
Menarik inti pembicaraan yang diinginkan direksi melakukan kerjasama tersebut, kiranya bagi saya hanya menjadi proyek "dadakan" yang sama sekali tanpa di awali perencanaan yang matang. Mengikuti alur sistem yang masih berjalan di perusahaan sangat sulit sekali nantinya mengimbangi "pemaksaan" sistem baru tersebut.
Perlunya pembenahan manajerial yang matang jika ingin semua berjalan dengan layaknya. Di semua perubahan lini dari lini bawah sampai puncak. Begitupun divisi, prosedural yang tertulis bukan hanya menjadi goresan tinta memenuhi formalitas legal, ke administrasian, dan arsip yang menjadi setumpuk lembaran yang tidak ada gunanya. Padahal jika seluruh prosedural di kaji dengan benar dan tepat dengan perwujudannya melalui tata kelola yang rapi sesuai tempat dan porsi yang benar. Melakukan analisa dan evaluasi dengan kesungguhan, menyusun berbagai alternatif cara perbaikan. Memang sangat di perlukan kerja keras dan konsistensi upaya ke arah tersebut.
Setelah mendengarkan apa yang hendak dinginkan direksi dari maksud proyek "dadakan" tersebut dengan pertemuan pertama saya dengan pihak provider. Saya menyusuri sistem manajemen yang telah berjalan di perusahaan. Banyak usaha manajerial yang menghasilkan buah mentah. Artinya usaha tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. akhirnya mereka kembali lagi pada sistem lama. Mungkin dorongan dari manajemen hanya sekedarnya atau personilnya sendiri terlalu mencintai "comfort zone" yang dirasa cukup dan puas dengan pekerjaannya. Internalisasi budaya lama yang begitu mengakar.
Dengan sisa keyakinan saya mulai bergerak mulai dari laporan proyek. Proses itu pun saya dapatkan dengan berinteraksi bersama karyawan senior. Yaitu material dan absensi, serta akumulasi prestasi pekerjaan. Direksi menginginkan setidaknya adanya laporan berkala proyek. Dapat memonitor proyek jarak jauh menjadi lebih intensif tentunya di lengkapi dengan fasilitas teknologi komunikasi dari sistem tersebut. Sehingga pengendalian proyek nanti dapat di analisis sesuai kebutuhan. Bahkan lebih jauh lagi dengan adanya fasilitas komunikasi ini manajer proyek ataupun supervisor dapat mempresentasikan laporannya dilengkapi grafik-grafik tren pekerjaan dari jarak jauh. Menggunakan fasilitas komunikasi canggih ini haruslah saya ukur dari pendanaan, kemampuan masing-masing pegawai, fasilitas penunjang yang harus ada, dan mungkin penambahan seorang profesional guna menguji sistem baru yang akan dilaksanakan. Ini sangat menyita waktu dan persiapan yang sangat matang.
Melihat dari jenis usaha jasa perusahaan serta lambatnya penawaran kembali dari provider, saya merasa semakin mengecil untuk melanjutkan "misi" ini.
Tetapi koordinasi kembali dengan pihak provider kembali tersambung. Pertemuan kami kali ini mereka fasilitasi dengan turut mengundang seorang profesional teknologi. Mendengarkan apa yang menjadi tujuan perusahaan ini memiliki teknologi komunikasi yang dimaksud ternyata memang jauh sekali untuk di wujudkan. Harus ditentukan secara pasti setiap kesediaan material menurut jenis, ukuran, harga yang harus di sesuaikan dengan teknis dan efisiensi biayanya serta ketepatan jadwal yang semestinya. Belum lagi sistem manajemen kami yang masih masa penjajakan dan belum pernah melakukan pengujian sehingga bisa dikatakan benar-benar berhasil dan telah melalui tahap evaluasi sistem tersebut.

Jumat, 17 Desember 2010

Curcol season two

No, execuse....!
Sukses adalah hak saya
No Action Nothing Happen
etc,...

Kata motivasi yg ku suka.
Tapi bagaimana mewujudkannya...?
Belum berjalan aku sudah merasa lelah, belum bertarung sudah merasa kalah.
Itulah yang kualami dalam dilema karier.

Aku merasa bukan apa-apa disini.
Jauh berbeda dengan ke eksisan ku ketika masih berada dalam masa yang lalu.
Aku merasa menjadi manusia yang tidak berdaya. Lemah dan menyerah. Merasa masih pantaskah aku dengan kebanggaan orangtua ku terhadapku. Menjadi manusia yang tidak enerjik dan pesimis. Aku mengalami jatuh bangun dalam hidupku yang singkat, tapi baru dalam masa ini aku merasa harus berusaha keras untuk merangkai mimpi dan bangkit kembali. Aku tak mampu untuk bermimpi lagi. Tak merasa memiliki mimpi. Dan akhirnya jatuh dalam penyesalan diri. Bertanya pada diri sendiri, apa yang ku punya sesungguhnya ??
Aku menginginkan mimpi ku kembali.
Aku telah bekerja selama satu tahun lebih tapi prestasi apa yang bisa ku ukir. Tidak satupun. Aku merindukan rasa itu. Rasa dimana membuatku sedikit melayang. Aku ingin sekali menyingkat waktu berharap dapat merubah keadaan ini secepatnya. Tapi keadaan telah berbeda. Banyak kesabaran dan kedewasaan yang mutlak aku andalkan demi tujuanku. Demi mimpiku, demi suatu prestasi itu. Karena aku telah berkeluarga. Aku tak bisa hanya memiliki tujuan sendiri ada tujuan mencapai kebahagiaan lain dalam hidupku. Kebahagiaan rumah tangga. Aku mencintai keluarga. Suami dan anakku. Merekalah secara nyata masa depanku.
Ya Rabb...mudahkanlah jalanku....

Kamis, 16 Desember 2010

Budaya Kerja Orang Jepang

Dari segi pemerintahan, sebelum terjadi perang negara Jepang telah memiliki partai-partai politik yang mencerminkan kepemimpinan demokratis yang dianutnya. Tapi ciri-ciri dan sifat-sifat kepemimpinan politik Jepang sesudah perang sangat sulit untuk dinilai. Tradisi maupun praktek kehidupan Jepang sedikit sekali menekankan pada “pemimpin-pemimpin” secara individual dan “kepemimpinan” dibanding dengan kultur Barat. http://ireztia.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gifKecenderungan ini diperkuat oleh sifat multi-faksi dari kepemimpinan partai politiknya, dan besarnya peranan komite dan teknik-teknik, konsensus lainnya dalam pembuatan keputusan.

Suatu penelitian tentang penunjukan dari pembentukan kabinet-kabinet konservatif akhir-akhir ini akan menunjukkan pengaruh perang, kekalahan perang, dan pendudukan Amerika terhadap sifat kepemimpinan politik Jepang sesudah Perang Dunia II. Tokoh-tokoh militer dan wakil-wakil dari lingkungan istana dan aristokrat yang begitu kuat berpengaruh dalam kabinet sebelum perang sekarang tidak muncul lagi. Di antara kelompok elite sebelum perang, hanya politisi partai, birokrat, dan wakil-wakil dunia usaha yang masih tetap memegang posisi. Beban kekalahan perang, pembersihan yang didorong oleh Amerika atas unsur-unsur militer dan ultra-nasionalis dari jabatan-jabatan pemerintahan, dan diberlakukannya Konstitusi baru secara serempak telah menyingkirkan pemimpin-pemimpin tradisional dari jabatannya; akibat kekosongan kepemimpinan itu muncullah muka-muka baru di kalangan puncak partai-partai konservatif, yang sebagian besar masih tetap berada di tempatnya sampai sekarang. ( Sumber buku Perbandingan Pemerintahan Karya Dede Mariana )

Sedangkan bila dilihat dari segi kebudayaannya, kepemimpinan Jepang dikenal memiliki etos kerja yang sangat baik dalam memajukan negara atau organisasi yang berada di dalamnya. Diambil dari sumber yang ditulis oleh Ahmad Kurnia dari buku karya ANN WAN SENG, “RAHASIA BISNIS ORANG JEPANG (Langkah Raksasa Sang Nippon Menguasai Dunia)” diceritakan setelah bom atom Amerika menghunjam Hiroshima dan Nagasaki yang merupakan jantung kota Jepang tahun 1945, semua pakar ekonomi saat itu memastikan Jepang akan segera mengalami kebangkrutan. Namun, dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, Jepang ternyata mampu bangkit dan bahkan menyaingi perekonomian negara yang menyerangnya. Terbukti, pendapatan tahunan negara Jepang bersaing ketat di belakang Amerika Serikat. Apalagi di bidang perteknologian, Jepang menjelma menjadi raksasa di atas negara-negara besar dan berkuasa lainnya. Dengan segala kekurangan secara fisik, tidak fasih berbahasa Inggris, kekurangan sumber tenaga kerja, dan selalu terancam bencana alam rupanya tidak menghalangi mereka menjadi bangsa yang dihormati dunia.

Dahulu Jepang bukanlah negara maju yang patut diperhitungkan dan ditakuti di dunia. Tapi siapa yang menyangka bahwa setelah mengalami kehancuran yang dahsyat pada Perang Dunia II dengan dijatuhkannya bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang mampu bertahan dan bahkan bangkit dengan kekuatan yang sangat luar biasa menjadi suatu negara maju di kawasan Asia Timur, dan mampu menempatkan negara dalam posisinya dalam jajaran negara-negara dengan perekonomian terkuat di dunia. Hal ini dibuktikan pada pertengahan era 1990-an, Product National Bruto (PNB) Jepang mencapai US$ 37,5 miliar atau 337,5 triliun rupiah, yang sekaligus menempatkan Jepang pada posisi ke-2 setelah Swiss yang memiliki PNB tertinggi di dunia. Selain itu Jepang merupakan negara yang tidak memiliki utang luar negeri. Jepang dikenal sebagai negara yang mempunyai banyak kekurangan antara lain dari segi fisik orang Jepang rata-rata berpostur kecil, wilayah teritorial yang sempit, dari segi tata letak geografis negara Jepang terletak di jalur lempeng pergeseran kerak bumi yang berpotensi rawan gempa bumi, sumber daya alam yang terbatas, dan masih banyak kekurangan yang lain. Tapi mengapa negara dengan banyak kekurangan ini mampu bertahan dan bangkit menjadi negara maju didunia? Apa keajaiban yang terjadi?

Jepang adalah negara yang tidak memiliki hasil dan sumber daya alamnya sendiri. Oleh karena itu, Jepang bergantung pada sumber-sumber dari negara lain. Negara tersebut tidak hanya mengimpor minyak bumi, biji besi, batu arang, kayu, dan sebagainya. Bahkan, hampir delapan puluh lima persen sumber tenaganya berasal dari negara lain. Hasil pertanian Jepang adalah yang tertinggi di dunia. Selain itu, Jepang juga mengimpor tiga puluh persen bahan makanan dari negara lain untuk memenuhi konsumsi makanan penduduknya. Namun, di Jepang pertanian masih menjadi sektor utama meskipun telah dikenal sebagai negara industri yang maju. Dengan kondisi tersebut bagaimana atau apa yang menjadi rahasia sehingga Jepang bisa menjadi penguasa ekonomi nomor satu didunia?

Mengapa negara Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, Singapura, dan Indonesia tidak dapat menjadi seperti Jepang? Apakah karakter bangsa Jepang tidak dimiliki bangsa lain? Padahal, berdasarkan ciri fisik dan keadaan geografis, setengah negara tersebut yang lebih baik daripada Jepang. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menjelaskan hal tersebut. Objek penelian adalah pada sistem penggajian, etos dan budaya kerja orang Jepang. Pada dasarnya, etos dan budaya kerja orang Jepang tidak jauh beda dengan bangsa Asia lainnya. Jika mereka disebut pekerja keras, maka bangsa Cina, Korea dan bangsa Asia lainnya juga pekerja keras. Namun, mengapa bangsa Jepang yang lebih berhasil dan maju dibandingkan dengan bangsa Asia lainnya?

Dalam sistem pengelolaan organisasi bisa dibilang organisasi Jepang berbeda dengan sistem pengelolaan organisasi yang dianut oleh bangsa maju lainnya seperti Amerika. Perbedaan inilah yang membuat organisasi Jepang menjadi unik tapi banyak dicontoh oleh negara-negara berkembang di dunia. Dalam organisasi Jepang pengelola berawal dari posisi bawahan, oleh karena itu pengelola organisasi Jepang lebih akrab dan memahami bawahannya. Sikap terus terang mengurangi konflik antara pihak pengelola dan bawahan. Tim kerja merupakan pondasi dasar dalam organisasi Jepang untuk membentuk interaksi antara anggota tim dan bawahan. Fakta-fakta menarik yang yang dapat kita amati dari sistem pengelolaan organisasi Jepang antara lain: bangsa Jepang lebih suka mengaitkan diri mereka sebagai anggota organisasi dan perkumpulan tertentu jika memperkenalkan diri daripada memperkenalkan diri berdasarkan asal negara dan keturunannya. Mereka bangga jika dikaitkan dengan organisasi besar dan berprestasi, tempat mereka bekerja. Kemauan bangsa Jepang menjadi hamba organisasinya merupakan faktor kesuksesan negara itu menjadi penguasa besar dalam bidang ekonomi dan industri. Sikap ini ditunjukkan dengan cara mengorbankan pendapat pribadi, masa istirahat, gaji dan sebagainya untuk menjaga dan mempertahankan kelangsungan organisasinya. Sikap ini berbeda dengan bangsa barat yang memberikan ruang sebesar-besarnya kepada anggota organisasi untuk berpendapat dn mengemukakan pandangan. Dalam sistem pengelolaan Jepang ini individu tidak penting jika dibandingkan dengan perkumpulan dan organisasi.

Orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran. Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka, hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan. Pada tahun 1960, rata-rata jam kerja pekerja Jepang adalah 2.450 jam/tahun. Pada tahun 1992 jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun. Namun, jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja di negara lain, misalnya Amerika (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun). Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskannya di tempat kerja (hlm.70). Keadaan ini tentu sangat berbeda dengan budaya kerja orang Indonesia yang biasanya selalu ingin pulang lebih cepat. Di Jepang, orang yang pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai pekerja yang tidak penting, malas dan tidak produktif. Bahkan istri-istri orang Jepang lebih bangga bila suami mereka ”gila kerja” bukan ”kerja gila”. Sebab hal itu juga menjadi pertanda suatu status sosial yang tinggi.

Keberhasilan Jepang mempertahankan statusnya sebagai “Bapak Naga Asia” banyak dibantu oleh budaya kerja dan perdagangan rakyatnya. Agar produk mereka mampu bersaing di dunia Internasional, Jepang tidak hanya memperbaiki dan meningkatkan kualitas produknya, melainkan juga menciptakan berbagai barang lain yang diperlukan konsumen baik ditingkat mikro maupun makro. Sehingga perusahaan Jepang bersedia menghabiskan jutaan rupiah (sekitar 45 persen dari anggaran belanjanya) untuk membiayai penelitian dan pengembangan dalam rangka meningkatkan inovasi dan mutu produk. Selain itu mereka juga meletakkan kepercayaan dan jaminan kualitas sebagai aset terpenting pemasaran dan perdagangan. Tidak salah beberapa produknya menduduki posisi pertama dan menjadi pilihan konsumen karena lebih ekonomis, bermutu, mudah digunakan dan memiliki berbagai fungsi. Seperti Matsushita yang merupakan contoh terbaik perusahaan yang berhasil memecahkan dominasi dan monopoli perusahaan Barat. Begitu juga Walkman produk Sony yang menimbulkan fenomena luar biasa dikalangan remaja pada era 1980-an. Produk itu juga mencetuskan revolusi baru dalam perkembangan elektronik dan audio visual.

Sikap patriotisme bangsa Jepang juga menjadi salah satu faktor yang membantu keberhasilan ekonomi negaranya. Bangsa Jepang bangga dengan produk buatan negeri sendiri. Mereka juga menjadi pengguna utama produk lokal dan pada saat yang sama juga mencoba mempromosikan produk made in Japan ke seluruh dunia dari makanan, teknologi sampai tradisi dan budaya. Dimana saja mereka berada bangsa Jepang selalu mempertahankan identitas dan jatidiri mereka.

Minat dan kecintaan bangsa Jepang terhadap ilmu membuat mereka merendahkan diri untuk belajar dan memanfaatkan apa yang telah mereka pelajari. Mereka menggunakan ilmu yang diperoleh untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan produk Barat demi memenuhi kepentingan pasar dan konsumen. Bangsa Jepang memang pintar meniru tetapi mereka memiliki daya inovasi yang tinggi. Pihak Barat memakai proses logika, rasional dan kajian empiris untuk menghasilkan sebuah inovasi. Namun bangsa Jepang melibatkan aspek emosi dan intuisi untuk menghasilkan inovasi yang sesuai dengan selera pasar.

Untuk melancarkan urusan pekerjaanya, orang Jepang memegang teguh prinsip tepat waktu dengan tertib dan disiplin, khususnya dalam sektor perindustrian dan perdagangan. Kedua elemen itu menjadi dasar kemakmuran ekonomi yang dicapai Jepang sampai saat ini. Seperti pahlawan dalam cerita rakyat Jepang, si samurai buta Zatoichi, Jepang harus memastikan segala-galanya, termasuk rakyatnya, senantiasa bergerak cepat menghadapi perubahan disekelilingnya. Jika semuanya berhenti bergerak, maka ekonomi Jepang akan runtuh seperti Zatoichi yang luka dan mati karena gagal mempertahankan diri dari serangan musuh. Karena ia tidak bergerak dan hanya dalam keadaan statis.

Untuk itu, tidak ada alasan bagi Indonesia tidak bisa menjadi seperti Jepang. Indonesia memiliki sumber alam melimpah dari pada Jepang, tenaga manusia murah, infrastruktur yang baik, dan kedudukan geografis yang strategis. Tergantung kemauan, komitmen dan langkah pasti pemerintah serta masyarakatnya dalam mengaplikasikan formula ekonomi yang ampuh tersebut. Jika bangsa Jepang bisa melakukannya, maka tidak ada alasan untuk kita gagal melaksanakannya. Kekuasaan ada ditangan kita dan bukan terletak pada negara.

Namun sebelumnya, ada beberapa etos kerja dan budaya kerja bangsa Jepang yang bisa kita ketahui yang didapat dari http://suasanasegar71.multiply.com :

Masyarakat Jepang tidak peduli pada agama.

Jika dibandingkan dengan masyarakat Indonesia, perbedaan yang paling besar antara masyarakat Jepang dengan Indonesia adalah masyarakat Jepang tidak peduli pada agama.

Dalam undang-undang dasar Jepang, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan agama. Dilarang keras memakai anggaran negara untuk hal-hal agama. Dalam pasal 20 tertulis bahwa semua lembaga agama tidak boleh diberi hak istimewa dari negara dan tidak boleh melaksanakan kekuatan politik, negara dan instansinya tidak boleh melakukan kegiatan agama dan pendidikan agama tertentu. Dan dalam pasal 89 tertulis bahwa uang negara tidak boleh dipakai untuk lembaga agama.

Maka di Jepang tidak ada ruangan untuk sembahyang seperti mushala di instansi negara (termasuk sekolah), tidak ada Departmen Agama, tidak ada sekolah agama negara (seperti IAIN di Indonesia).

Menurut beberapa penelitian, sekitar 70% orang Jepang menjawab tidak memeluk agama. Terutama, pemuda Jepang sangat tidak peduli agama. Pada tahun 1996, mahasiswa Jepang yang mempercayai agama tertentu hanya 7.6%. Orang Jepang tidak peduli orang lain agamanya apa, dan kalau dia mempercayai agama tertentu, biasanya dia tidak suka memamerkan agamanya sendiri. Orang Jepang tidak ikut campur urusan pribadi orang lain, dan masalah agama dianggap sebagai urusan pribadi.

Di Jepang pernah ada Perdana Menteri yang memeluk agama Kristen, namanya Ohira Masayoshi. Masa jabatannya dari tahun 1978 sampai 1980. Memang jumlah orang Kristen cuma 1% dari penduduk Jepang, tapi sama sekali tidak menjadi masalah dan sama sekali tidak mempengaruhi kebijakannya. Hal itu tidak dikatakan karena toleransi pada agama, lebih tepat disebut karena ketidakpedulian orang Jepang pada agama.

Etika orang Jepang tidak berdasar atas agama

Robert N Bellah, menerbitkan buku berjudul Tokugawa Religion: The Cultural Roots of Modern Japan (1957) menganalisis kemajuan Jepang berdasar teori Max Weber yaitu Die Protestantische Ethik und der “Geist” des Kapitalismus (1905), menjelaskan peranan nilai agama pramodern itu dalam proses modernisasi. Bellah mengatakan ajaran “Sekimon shingaku” (Ilmu moral oleh ISHIDA Baigan) itu memerankan sebagai etos untuk modernisasi ekonomi. Selain itu, ada yang menilai ajaran salah satu sekte Buddha Jepang Jodo Shinshu sebagai etos seperti Protestan. Tentu saja ajaran-ajaran itu mementingkan kerja keras, mirip dengan ajaran Puritanisme (memang Islam juga). Di Jepang modernisasi di dalam bidang ekonomi dilakukan oleh pemerintah Meiji. Ideologi pemerintah Jepang adalah Shinto versi negara. Jadi, teori Max Weber tidak bisa diterapkan kepada Jepang. Di Jepang tidak ada agama yang mendorong proses kapitalisme.

Jepang dipenuhi dengan porno, dilimpah dengan tempat judi, orang Jepang suka sekali minum minuman keras. Tetapi pada umumnya orang Jepang masih berdisiplin, bekerja keras, masyarakat Jepang sedikit korupsi, lebih makmur, tertib, efisien, bersih dan aman (setidak-tidaknya tidak terjadi konflik antar agama) daripada Indonesia. Bagi orang Jepang, porno, judi, minuman keras, semua hanya sarana hiburan saja untuk menghilangkan stres. Kebanyakan orang Jepang tidak sampai adiksi/kecanduan.

Kalau begitu, etika orang Jepang berdasar atas segala sesuatu yang dianggap menguntungkan. Semua hal pasti di kerjakan, biarpun itu berbau porno asalkan senang dan mendatangkan keuntungan

Etika orang Jepang : etika demi komunitas

Etika orang Jepang itu, tujuan utamanya membentuk hubungan baik di dalam komunitas. Kebesaran komunitas bergantung pada situasi dan zaman. Negara, desa, keluarga, perusahaan, pabrik, kantor, sekolah, partai, kelompok agama, tim sepak bola dll, bentuknya apapun, orang Jepang mementingkan komunitas termasuk diri sendiri. Sesudah Restorasi Meiji, pemerintah Meiji sangat menekankan kesetiaan pada negara. Sesudah perang dunia kedua, objek kesetiaan orang Jepang beralih pada perusahaan.

Tindakan pribadi dinilai oleh mendorong atau merusak rukun komunitas. Maka misalnya minum minuman keras juga tidak dimasalahkan, bahkan minum bersama diwajibkan untuk mendorong rukun komunitas.

Ajaran agama juga digunakan untuk memperkuat etika komunitas ini. Sedangkan Semitic monoteisme (agama Yahudi, Kristen dan Islam) mengutamakan Allah daripada komunitas, dan memisahkan seorang sebagai diri sendiri dari komunitas. Jadi Pemerintahan Tokugawa melarang Kristen. Tentu saja agama Buddha juga mengutamakan Kebenaran Darma daripada komunitas, tetapi ajaran sisi seperti itu ditindas. Sementara Konfusianisme sengat cocok dengan etika demi komunitas ini. Tetapi, orang Jepang tidak mengorbankan sendiri tanpa syarat demi komunitas. Hal ini jelas terutama di dalam etos kerja orang Jepang.

Etos kerja seperti itulah yang membuat kepemimpinan perusahaan Jepang yang besar membentuk 3 sistem :

(1). Sistem ketenagakerjaan sepanjang hidup, yakni perusahaan biasanya tidak putus hubungan kerja.

(2). Sistem kenaikan gaji sejajar umur, yakni perusahaan menaikan gaji pekerjanya tergantung umur mereka.

(3). Serikat pekerja yang diorganisasi menurut perusahaan, yakni, berbeda dengan pekerja yang diorganisasi menurut jenis kerja, semua pekerja sebuah perusahaan, jenis kerja apapun, diorganisasi satu serikat pekerja.

Oleh ketiga sistem ini, pekerja menganggap dirinya kuat sebagai anggota perusahaannya dan merasa kesetiaan kepada perusahaannya. Di atas ketiga sistem ini, etos kerja dan budaya kerja orang Jepang berkembang. Kenyataannya, ketiga sistem ini dibentuk hanya di perusahaan besar, tidak ada di perusahaan kecil. Tetapi ketiga sistem ini menjadi teladan bagi perusahaan kecil juga.

Ciri-ciri etos kerja dan budaya kerja orang Jepang adalah,
1. Bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji saja. Tentu saja orang Jepang juga tidak bekerja tanpa gaji atau dengan gaji yang rendah. Tetapi kalau gajinya lumayan, orang Jepang bekerja untuk kesenangan. Jika ditanya “Seandainya anda menjadi milyuner dan tidak usah bekerja, anda berhenti bekerja ?”, kebanyakan orang Jepang menjawab, “Saya tidak berhenti, terus bekerja.” Bagi orang Jepang kerja itu seperti permainan yang bermain bersama dengan kawan yang akrab. Biasanya di Jepang kerja dilakukan oleh satu tim. Dia ingin berhasil dalam permainan ini, dan ingin menaikkan kemampuan diri sendiri. Dan bagi dia kawan-kawan yang saling mempercayai sangat penting. Karena permainan terlalu menarik, dia kadang-kadang lupa pulang ke rumah. Fenomena ini disebut “work holic” oleh orang asing.

2. Mendewakan langganan. Memang melanggar ajaran Islam, etos kerja orang Jepang mendewakan client/langganan sebagai Tuhan. “Okyaku sama ha kamisama desu.” (Langganan adalah Tuhan.) Kata itu dikenal semua orang Jepang. Kata ini sudah motto bisnis Jepang. Perusahaan Jepang berusaha mewujudkan permintaan dari langganan sedapat mungkin, dan berusaha berkembangkan hubungan erat dan panjang dengan langganan.

3. Bisnis adalah perang. Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis sebagai perang yang melawan dengan perusahaan lain. Orang Jepang suka membaca buku ajaran Sun Tzu, The Art of War untuk belajar strategis bisnis. Sun Tzu adalah sebuah buku ilmu militer Tiongkok kuno, pada abad 4 sebelum masehi. Sun Tzu itu suka dibaca oleh baik samurai dulu maupun orang bisnis sekarang. Untuk menang perang, perlu strategis dan pandangan jangka panjang. Budaya bisnis Jepang lebih mementingkan keuntungan jangka panjang. Supaya menang perang seharusnya diadakan persiapan lengkap untuk bertempur setenaga kuat. Semua orang Jepang tahu pribahasa “Hara ga hette ha ikusa ha dekinu.” (Kalau lapar tidak bisa bertempur.) Oleh karena itu orang Jepang tidak akan pernah menerima kebiasaan puasa. Bagi orang Jepang, untuk bekerja harus makan dan mempersiapkan kondisi lengkap. Tentu saja di medang perang,
kedisiplinan paling penting. Dalam buku Sun Tzu untuk mengajar kedisiplinan dilakukan cara yang sangat kejam. Tetapi sekarang disiplin diajarkan di sekolah dasar. Pendidikan di sekolah sangat penting. Masuk sekolah setiap hari tidak terlambat, ikut pelajaran secara rajin, hal-hal itu dasar disiplin untuk kerja di dunia bisinis. Pada setelah Restorasi Meiji, pendidikan disiplin di sekolah dasar lebih berguna untuk berkembang kapitalisme daripada ajaran agama apapun.

Rabu, 15 Desember 2010

Curcol

Dimanapun tempat kita berpijak disitulah seharusnya menjadi tempat yg sesuai dengan harapan.
Namun beda masa beda pula pertemanan. Flashback pada masa lalu menjadi cerita indah dimanapun aku berada, sedari dulu ku rasa indah nya pertemanan. Hingga kadang record masa itu kembali, senyum memberikan ku sedikit arti.
Tidak dengan masa kini. Dimana aku dalam rasa bersyukur karena setidaknya cita-citaku menyelesaikan kuliah dan bekerja membuatku menjadi mandiri.
Setahun sudah aku disini. Menyenangkan dapat diterima dalam keluarga besar perusahaan ini. Sebagian besar dari mereka bersuku yang tidak sama denganku. Bahkan bahasa kebangsaan dalam perusahaan adalah bahasa yang mayoritas itu. Bukan hal yang baru bagiku berada diantara suku yang berbeda. Akupun selalu merasakan aura positif mereka atas keberadaanku.
Awalku memulai penerimaan bagi mereka, mencoba memahami setiap orang dalam lingkungan kerja ku. Dalam satu ruangan itu aku yg paling belia, jadi setiap kata dan perbuatan harus sebaik-baik terkendali disini. Selain itu aku pun harus menggunakan ilmu padi yang selalu di tanamkan ibuku agar aku menjadi pribadi yang santun. Tak akan ada artinya ijazah dengan kesombongan. Sebab setiap ilmu mengajarkan etika.
Dasar pengalaman kerja ku awali dari sini. Belajar memahami alur kerja. Untuk memahami apa yang harus aku kerjakan. Setiap pegawai disini adalah senior bagiku. Aku berusaha untuk belajar dari siapapun. Padahal aku tahu banyak yang harus di benahi dalam perusahaan ini.
Dalam masa penyesuaian aku belajar dari satu rekan dalam divisi yang sama. Dia adalah seniorku. Ku anggaplah begitu karena lebih banyak lah ia memiliki ilmu kerja dalam perusahaan ini. Mengawalinya yaitu dengan menjawab setiap pertanyaan yang ingin mereka ketahui tentang ku. Dan menjelaskan nya. Dan aku menanyakan setiap yang harus aku ketahui tentang pekerjaan ataupun lingkungan kantor. Terkadang bagiku senior ku ini menjawab dan menceritakan yang belum dan tanpa ku tanyakan. Terutama berkaitan dengan seseorang. Terbukalah semua. Aku melihat ia (seniorku) memang tampak gesit dalam pekerjaannya. Ia memiliki memori yang cepat. Akan tetapi mungkin bagiku yang kurang terbiasa atas sikapnya membuatku merasa ia bukanlah orang yang istimewa di balik kelebihannya. Suara menggelegar, intonasi nada yang kaku dan tempo irama perbincangan yang menurutku kasar, membuatku sering berhati-hati ketika berbicara apapun kepadanya. Dan satu hal tak pernah luput darinya satu kritik berpadu dengan notasi nada yang mengancam. Seakan semua bisa menjadi alasan untuk di persalahkan. Berseberangan dengan harapanku. Ia pun sedikit gemar membuka cerita. Cerita apapun itu. Kadang aku merasa mulai tidak nyaman atas ketidakistimewaannya. Ia bertindak seakan mengetahui segalanya. Kadang memang membantu tapi kadang malah membuatku merasa mengecohkan bahkan seperti memperolok orang lain. Karena sikapnya yang kurang istimewa itulah aku mulai membatasi diri. Membatasi komunikasi kami. Jika tidak di perlukan bicara aku lebih nyaman untuk menutup rapat mulutku. Itulah penyesuaian yang sampai sekarang aku lakukan dalam kantor. Bukan kendala bahasa yang mayoritas di gunakan.