Kamis, 10 Maret 2011

Berpakaian Sesuai Syariat Islam

Oleh : Muhammad al-Fakkar

A. Pengantar

Salah satu perbedaan sistem Islam dengan sistem Kapitalis adalah bahwa sistem Kapitalis memandang persoalan sosial dan rumah tangga dianggap sebagai masalah ekonomi, sedangkan sistem Islam masalah-masalah di atas dibahas tersendiri dalam hukum-hukum seputar interaksi pria-wanita (nizhâm al-ijtima’iyyah). Misalnya dalam sistem kapitalisme tidak ada istilah zina jika laki-laki dan perempuan melakukan hubungan suami isteri tanpa ikatan pernikahan asal dilakukan suka-sama suka atau saling menguntungkan sebaliknya disebut pelecehan seksual dan pelakunya dapat diajukan ke pengadilan jika seorang suami memaksa dilayani oleh seorang isteri sementara isterinya menolak.

Karena itu dalam persoalan pakaian antara penganut sistem kapitalis dan sistem Islam jelas perbeda. Dalam sistem kapitalis pakaian dianggap sebagai salah satu ungkapan kepribadian, sebagai unsur penarik lawan jenis dan karena itu memiliki nilai ekonomis. Bentuk tubuh seseorang –apalagi wanita– sangat berpengaruh terhadap makna kebahagiaan dan masa depan.

Adapun Islam menganggap bahwa pakaian digunakan memiliki karakteristik yang sangat jauh dari tujuan ekonomis apalagi yang mengarah pada pelecehan penciptaan makhluk Allah. Karena itu di dalam Islam:

1. Pakaian dikenakan oleh seorang muslim maupun muslimah sebagai ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena itu berpakaian bagi seorang muslim memiliki nilai ibadah. Karena itu dalam berpakaian iapun mengikuti aturan yang ditetapkan Allah.

2. Kepribadian seseorang ditentukan semata-mata oleh aqliyahnya (bagaimana dia menjadikan ide-ide tertentu untuk pandangan hidupnya) dan nafsiyahnya (dengan tolok ukur apa dan seberapa banyak dia berbuat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan melampiaskan nalurinya).

3. Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, yang membedakan adalah takwanya.

Melalui cara berpakaian yang Islami, sesungguhnya Allah juga berkehendak memuliakan manusia sebagai makhluk yang memang telah Allah ciptakan sebagai makhluk yang mulia. Sebaliknya dengan tidak mengikuti cara berpakaian sesuai yang dikehendaki Allah, menyebabkan kedudukan manusia jatuh.

Walhasil seorang muslim dan muslimah wajib mengetahui aturan berpakaian agar dalam berpakaian dan berpenampilan ia akan mendapatkan ridha Allah, bukan sebaliknya mendapatkan murka Allah.

B. Pakaian Bagi Seorang Muslim

Pakaian yang dikenakan oleh seorang muslim haruslah memenuhi syarat tertentu, yakni:

1. Menutup aurat;
2. Tidak terbuat dari emas atau sutera;
3. Tidak menyerupai pakaian wanita;
4. Tidak menyerupai orang-orang kafir.

C. Aurat Laki-Laki

Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut, berdasarkan riwayat ‘Aisyah:

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari Bapaknya dari kakeknya, beliau menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Jika ada di antara kalian yang menikahkan pembantu, baik seorang budak ataupun pegawainya, hendaklah ia tidak melihat bagian tubuh antara pusat dan di atas lututnya.” [HR. Abu Dawud, no. 418 dan 3587].

Rasulullah Saw bersabda:

Aurat laki-laki ialah antara pusat sampai dua lutut. [HR. ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, lihat Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid].

Dari Muhammad bin Jahsyi, ia berkata: Rasulullah Saw melewati Ma’mar, sedang kedua pahanya dalam keadaan terbuka. Lalu Nabi bersabda:

“Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu itu, karena sesungguhnya kedua paha itu aurat.” [HR. Ahmad dan Bukhari, lihat Ahkamush Sholat, Ali Raghib].

Jahad al-Aslami (salah seorang ashabus shuffah) berkata: pernah Rasulullah Saw duduk di dekat kami sedang pahaku terbuka, lalu beliau bersabda:

“Tidakkah engkau tahu bahwa paha itu aurat?” [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Malik, lihat Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].

Juga Rasulullah Saw pernah berkata kepada Ali ra: “Janganlah engkau menampakkan pahamu dan janganlah engkau melihat paha orang yang masih hidup atau yang sudah mati.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].

Larangan Memakai Emas Dan Sutera Bagi Laki-Laki

Larangan ini berdasarkan hadits:

Diriwayatkan dari al-Bara’ bin Azib r.a katanya: “Rasulullah Saw memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara. Baginda memerintahkan kami menziarahi orang sakit, mengiringi jenazah, mendoakan orang bersin, menunaikan sumpah dengan benar, menolong orang yang dizalimi, memenuhi undangan dan memberi salam. Baginda melarang kami memakai cincin atau bercincin emas, minum dengan bekas minuman dari perak, hamparan sutera, pakaian buatan Qasiy yaitu dari sutera, serta mengenakan pakaian sutera, sutera tebal dan sutera halus.” [HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad, CD Al-Bayan 1212].

Larangan Menyerupai Wanita

Seorang laki-laki dilarang bertingkah laku, termasuk berpakaian menyerupai wanita dan sebaliknya seorang wanita bertingkah laku termasuk berpakaian seperti laki-laki.

Larangan Menyerupai Orang Kafir

Menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) dilarang bagi muslim maupun muslimah. Tasyabbuh dapat dilakukan melalui pakaian, sikap, gaya hidup maupun pandangan hidup.

Bagi seorang laki-laki pakaian yang harus dikenakan sama, apakah dia di dalam rumah, di luar rumah, di hadapan mahram atau bukan, kecuali di hadapan isteri.

D. Pakaian Bagi Seorang Muslimah

Adapun pakaian yang dikenakan oleh seorang muslimah haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.

Rincian masing-masing persyaratan di atas berbeda-beda berdasarkan:

1. Keberadaan wanita di tempat umum atau di tempat khusus.

2. Keberadaan wanita di hadapan mahram atau bukan atau di hadapan suami atau bukan.

Penampilan wanita dibedakan antara tempat khusus dan tempat umum. Misalnya di dalam rumah sendiri seorang wanita boleh membuka jilbabnya dan hanya memakai mihnahnya, kecuali jika ada tamu laki-laki non muhrim. Adapun di tempat umum penampilan wanita dibatasi dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a. Kewajiban menutup aurat, seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.

b. Kewajiban menggunakan pakaian khusus di kehidupan umum, yaitu kerudung (khimar) dan jilbab (pakaian luar yang luas (seperti jubah) yang menutup pakaian harian yang biasa dipakai wanita di dalam rumah (mihnah), yang terulur langsung dari atas sampai ujung kaki.

c. Larangan tabarruj (menonjolkan keindahan bentuk tubuh, kecantikan dan perhiasan di depan laki-laki non muhrim atau dalam kehidupan umum).

d. Larangan tasyabbuh terhadap laki-laki.

Khusus untuk wanita menopause diperbolehkan Allah untuk melepaskan jilbabnya hanya saja tetap diperintahkan untuk tidak tabarruj, sehingga diperbolehkan baginya menggunakan baju panjang selapis/tidak rangkap (bukan jilbab) model apa saja selama tidak menampakkan keindahan tubuhnya seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain, Qs. an-Nûr [24]: 60).

Pakaian wanita di dalam rumahnya cukup menggunakan mihnah (kecuali ada tamu bukan mahrom, maka wajib menutup aurat yang harus ditutup di hadapan bukan mahrom). Di hadapan mahrom maka cukup menggunakan mihnah (kecuali di tempat umum maka harus memenuhi pakaian wanita di tempat umum), di hadapan suami tidak ada keharusan menutup bagian tubuhnya (walaupun dianjurkan tidak telanjang).

E. Aurat Wanita

Pembahasan aurat wanita dibagi menjadi tiga keadaan, yaitu:

1. Di hadapan suami mereka maka wanita boleh menampakkan seluruh bagian tubuhnya (berdasarkan hadits riwayat Bahz bin Hakim).

2. Di hadapan muhrimnya dan orang-orang yang disebut dalam Qs. an-Nûr [24]: 31 dan Qs. an-Nisâ’ [4]: 23 maka baginya boleh menampilkan bagian tertentu dari anggota tubuhnya yang biasa disebut mahaluzzinah yaitu anggota badan yang biasanya dijadikan tempat perhiasan, seperti: kepala seluruhnya, tempat kalung (leher), tempat gelang tangan (pergelangan tangan) sampai pangkal lengan dan tempat gelang kaki (pergelangan kaki) sampai lutut. Mahaluzzinah ini biasa tampak ketika wanita memakai baju dalam rumah (mihnah). Selain itu anggota tubuh lain boleh tampak termasuk apabila ada hajat seperti perut, payudara, kecuali aurat yang ada di antara pusar dan lutut.

Pemahaman mahaluzzinah ini diambil dari firman Allah SWT:

“….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali…” (Qs. an-Nûr [24]: 31).

Kata zinah yang secara bahasa berarti perhiasan, tetapi bukanlah perhiasan yang biasa dipakai orang tetapi makna zinah di sini adalah anggota badan yang merupakan tempat perhiasan (mahaluzzinah), karena illa mâ zhahara minha yang dimaksud adalah yang biasa nampak pada saat itu (saat ayat ini turun) yaitu muka dan telapak tangan, jadi menyangkut anggota badan.

1. Adapun di hadapan laki-laki selain suami dan muhrimnya maka aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.

Dasar dari penentuan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, yaitu:

“….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).

Sedangkan yang dimaksud dengan yang biasa nampak daripadanya adalah wajah dan telapak tangan. Karena dua bagian ini yang biasa nampak dari wanita muslimah di hadapan Rasul Muhammad Saw (baik dalam sholat, haji maupun dalam kehidupan sehari-hari di luar sholat dan haji) dan Rasul mendiamkannya sementara ayat-ayat al-Qu’ran masih turun. Tafsir mengenai hal ini, Ibnu Abbas menyatakan yang dimaksud dengan illa mâ zhahara minha adalah muka dan tangan, juga dari Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menyatakan “Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa nampak adalah muka dan telapak tangan.” (Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jld. 18, hal. 94). Hal tersebut diperkuat dengan sabda Rasul Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:

“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini. Beliau menunjuk pada wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud, No. 3580].

Qs. an-Nûr [24]: 31 turun sebelum ayat tentang jilbab sehingga ayat ini hanya menyampaikan batasan aurat dan perintah memakai kerudung. Sedangkan kewajiban berjilbab akan dibahas menyusul.

Adapun berkaitan dengan apa aurat itu ditutup, maka sesungguhnya syara’ tidak menentukan pakaian tertentu untuk menutup aurat, tetapi hanya memberikan beberapa syarat yaitu:

1. Pakaian itu tidak menampakkan aurat (dapat menutup semua aurat).

2. Pakaian itu dapat menutup kulit, sehingga tidak diketahui warna kulit dari wanita yang memakainya, yaitu apakah kulitnya putih, merah, kuning, hitam dan lain-lain. Apabila tidak memenuhi syarat tersebut tidak dapat diianggap sebagai penutup aurat. Jika pakaian itu tipis misal brokat, kerudung tipis, kaos kaki tipis, rukuh tipis dan lain-lain, sehingga kelihatan warna kulit (rambut) si pemakai pakaian itu, maka wanita yang memakai pakaian tersebut dianggap auratnya tampak atau tidak menutupi auratnya. Dalil bahwa syariat Islam telah mewajibkan menutup kulit sehingga tidak tampak warna kulitnya adalah hadits yang diriwayatkan dari A’isyah ra, beliau telah meriwayatkan bahwa Asma’ binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah Saw dengan memakai baju yang tipis maka Rasulullah memalingkan wajahnya dari Asma’ dan bersabda:

“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini…” [HR. Abu Dawud, no. 3580].

Rasulullah dalam hadits di atas menganggap baju yang tipis belum menutup aurat dan menganggap auratnya terbuka, sehingga beliau memalingkan wajah dari Asma’ dan memerintahkan Asma’ untuk menutup aurat. Dalil lain yang memperkuat dalam masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan Usamah:

“Perintahkan isterimu untuk mengenakan pakaian tipis lagi (gholalah) di bawah baju tipis tersebut. Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”

Rasulullah Saw ketika mengetahui Usamah memakaikan pakaian tipis itu pada isterinya, beliau menyuruhnya agar isterinya mengenakan pakaian tipis lagi di bawah pakaian tipisnya itu. Dan Rasulullah memberi illat pada masalah itu dengan sabdanya:

“Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”

Artinya wanita harus menutup sifat dari tulangnya, tidak boleh menggunakan pakaian yang tipis, sehingga kelihatan warna kulitnya.

Dengan demikian wanita harus memperhatikan 2 syarat tersebut ketika memilih jenis dan bahan pakaian penutup aurat termasuk penutup aurat di depan mahrom dan wanita lain seperti celana 3/4 sampai lutut, daster dan lain-lain.

Hanya saja apabila wanita selain yang menopause berada di luar rumah atau tempat-tempat umum (masjid, pasar, jalanan dan lain-lain) maka selain batasan aurat dan larangan tabarruj, terdapat ketentuan lain yang perlu diperhatikan yaitu adanya kewajiban menggunakan pakaian khusus yang telah diperintahkan Allah berupa khimar (kerudung) dan jilbab (jubah langsungan dari atas sampai ujung kaki), bukan pakaian lain seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain. Meskipun jenis baju tersebut menutup aurat tetapi bukan termasuk jilbab, oleh karena itu jenis pakaian tersebut hanya bisa dipakai oleh wanita yang sudah menopause dan sudah tidak punya keinginan seksual (Qs. an-Nûr [24]: 60).

Untuk wanita menopause ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam berpenampilan yaitu tidak diperbolehkan tabarruj. Oleh karena itu celana panjang, kaos kaki panjang, kaos stret pas badan tidak boleh digunakan sebagai penutup aurat wanita menopause karena termasuk tabarruj (menonjolkan kecantikan dan perhiasan/bentuk tubuh). Untuk lebih detailnya tentang pakaian khusus di kehidupan umum maka dapat dilihat pada pembahasan selanjutnya.

Pakaian Wanita di dalam Kehidupan Umum

Dalam kehidupan umum, yaitu pada saat wanita berada di luar rumahnya/di hadapan laki-laki non mahrom, maka seorang wanita harus menggunakan pakaian secara sempurna, yakni:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.

Dalil-dalil mengenai masalah ini lihat lagi pembahasan di atas. Adapaun dalil lainnya adalah sebagai berikut:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkankhumur (kain kerudung) ke juyub (dada)-nya, dan janganlah menampakkan perhiasanyaa, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung’.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).

Kewajiban menggunakan khumur muncul dari perintah dan hendaklah mereka menutupkan khumur/kain kerudung ke juyub (dada)-nya.

Khumur adalah jama’ dari khimar yaitu kerudung yang menutupi kepala, dan juyub adalah jama’ dari kata jaibun yaitu ujung pakaian (kancing pembuka) yang ada di sekitar leher dan di atas dada. Dengan kata lain khimar adalah kain yang menutupi kepala tanpa menutupi wajah, terulur sampai sampai menutupi ujung pakaian bawah (jilbab) yakni kancing baju di atas dada. Dengan demikian untuk bagian atas badan wanita diwajibkan mengenakan kerudung yang diulurkan sampai ujung pakaian (kancing pembuka)/di atas dada. Sedangkan bawahnya diperintahkan menggunakan jilbab/jubah. Dalil kewajibannya adalah sebagai berikut: (1) ungkapan Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka sebagaimana disebutkan dalamfirman Allah SWT:

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Ahzab [33]: 59).

(2) Kebolehan menanggalkan pakaian luar (jilbab) bagi wanita menopouse dengan ungkapan tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka sebagaimana dalam firman Allah SWT:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan (tabarruj), dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Qs. an-Nûr [24]: 60).

(3) Ungkapan salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab, Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” Sebagimana dalam hadits dari Ummu ‘Athiyah ra. Berkata:

Rasulullah memerintahkan kepada kami, nenek-nenek, wanita yang sedang haid, wanita pingitan untuk keluar pada hari raya Fitri dan Adha. Maka bagi wanita yang sedang haid janganlah sholat dan hendaklah menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Saya berkata: “Ya Rasulullah salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab”, Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (HR. Muslim, no 1475].

Pada Qs. al-Ahzab [33]: 59 dan hadist dari Ummu ‘Athiyah, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan muslimah menggunakan sejenis pakaian yang disebut jilbab.

Memahami Pengertian Jilbab

Kata jilbab digunakan di dalam al-Qur’an dan Hadits, namun maksud kata itu harus dikembalikan pada maksud yang dipahami oleh masyarakat ketika kata itu diturunkan/diungkapkan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata jilbab (pada nash tersebut): baju luar yang berfungsi menutupi tubuh dari atas sampai bawah (tanah). Dalam kamus arab Al-Muhith, jilbab bermakna: Pakaian yang lebar bagi wanita, yang menutupi tsiyab/mihnah (pakaian harian yang biasa dipakai ketika berada di dalam rumah), bentuknya seperti malhafah (kain penutup dari atas kepala sampai ke bawah). Demikian pula yang disebutkan oleh al-Jauhari dalam kitab Ash Shihah. Definisi jilbab ini juga tersirat dalam Qs. an-Nûr [24]: 60 walaupun pada ayat tersebut Allah menggunakan istilah tsiyab untuk menyebut makna jilbab.

Dari Qs. an-Nûr [24]: 60 dapat diambil pemahaman bahwa wanita menopause yang sudah tidak mempunyai keinginan seksual diperbolehkan melepaskan tsiyabnya (pakaian luarnya/jilbab), berarti tersisa mihnah, hanya saja selanjutnya diperintahkan untuk tidak menampakkan kecantikan, bentuk tubuh, perhiasan (tidak tabarruj) yaitu diperbolehkan menggunakan baju apa saja sejenis mihnah yang tidak menampakkan kecantikan/bentuk tubuh seperti baju atas bawah panjang, daster, kulot panjang dan lain-lain, tidak seperti celana ketat panjang karena hal itu termasuk tabarruj. Tsiyab disini dipahami pakaian luar/jilbab bukan baju biasa karena tidak mungkin Allah memerintahkan wanita menopause telanjang. Berarti dapat dipahami pula bagi wanita yang belum menopause diwajibkan untuk menggunakan tiga lapis/jenis pakaian ketika di hadapan laki-laki non mahrom yaitu kerudung, mihnah dan jilbab.

Adapun Hadist dari Ummu ‘Athiyah menerangkan dengan jelas ketika wanita keluar rumah/dihadapan laki-laki non mahrom diwajibkan menggunakan pakaian yang dipakai di atas pakaian dalam rumah (mihnah), sebagaimana Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasulullah Saw: “Salah seorang dari kami tidak mempunyai jilbab”, maka Rasulullah menjawab: “Hendaklah saudara perempuannya meminjamkan jilbabnya.” Artinya jika seseorang tidak mempunyai jilbab dan saudaranya tidak meminjami maka wanita itu tidak boleh keluar. Inilah indikasi (qarinah) bahwa perintah hadits tersebut adalah wajib. Dan jilbab yang dimaksudkan pada hadist ini bukan sekedar penutup aurat tetapi sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa jilbab: baju luar yang berfungsi menutupi tubuh langsung dari atas sampai bawah.

Pengertian ini dapat ditemukan juga dalam Tafsir Jalalain (lihat Tafsir Jalalain, jld. III, hal. 1803) yang diartikan sebagai kain yang dipakai seorang wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya.

Jilbab selain harus luas dipersyaratkan harus diulurkan langsung ke bawah sampai menutupi dua telapak kaki. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu abbas dan juga dapat dipahami dari nash-nash yudnîna ‘alaihinna min jalabibihinna di sini bukan menunjuk sebagian tetapi untuk menjelaskan, sedangkan makna yudnîna adalah yurkhîna ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Jadi kesimpulannya jilbab harus diulurkan langsung ke bawah (tidak potong-potong/atas bawah) sampai menutup dua telapak kaki (bukan mata kaki). Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa yang menyeret pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana yang harus diperbuat para wanita terhadap ujung baju (jilbab) mereka?” Rasulullah menjawab: “Hendaklah mereka mengulurkan sejengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi: “Kalau demikian terlihat kaki mereka.” Rasulullah menjawab: “Hendaklah mengulurkan bajunya sehasta dan jangan lebih dari itu.”

Dari sini jelas bahwa jilbab tidak boleh diulurkan bagian per bagian misalnya baju potongan, tetapi diulurkannya langsung dari atas ke bawah. Selain itu mengulurkannya harus sampai telapak kaki (bukan mata kaki), tidak boleh kurang dari itu, oleh karena itu apabila jilbabnya terulur sampai mata kaki dan sisanya (telapak kaki) ditutup dengan kaos kaki/sepatu, maka hal ini tidak cukup menggantikan keharusan irkha’ (terulurnya baju sampai ke bawah). Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah adanya irkha’, yaitu jilbab harus diulurkan sampai menutupi kedua telapak kaki sehingga dapat diketahui dengan jelas bahwa baju itu adalah baju di kehidupan umum. Apabila jilbabnya sudah terulur sampai ujung kaki tetapi jika berjalan kakinya masih terlihat sedikit seperti ketika menerima tamu, berjalan di sekitar rumah, maka hal ini tidak apa-apa walaupun tetap dianjurkan untuk ‘iffah (berhati-hati/menjaga diri). Hanya saja apabila aktivitas wanita tersebut membuat kakinya banyak terlihat semisal mengendarai sepeda, motor dan lain-lain maka diwajibkan untuk menggunakan penutup kaki apa saja seperti kaos kaki, sepatu dan lain-lain.

Memahami Pengertian Tabarruj

Tabarruj telah diharamkan oleh Allah SWT dengan larangan yang menyeluruh dalam segala kondisi dengan dalil yang jelas. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT:

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr (24): 60).

Pemahaman dari ayat ini adalah larangan bertabarruj secara mutlak. Allah membolehkan mereka (wanita yang berhenti haid dan tidak ingin menikah) menanggalkan pakaian luar mereka (jilbab), tanpa bertabarruj.

Sedangkan pengertian tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk bentuk tubuh dan sarana-sarana lain dalam berpenampilan agar menarik perhatian lawan jenis. Sarana lain yang biasa digunakan misalnya wangi-wangian, warna baju yang mencolok atau penampilan tertentu yang “nyentrik” atau perhiasan yang berbunyi jika dibawa jalan.

Orang tua (menopouse) boleh tetap mengenakan jilbab dan boleh juga mengenakan baju apa saja selain jilbab selama tidak menonjolkan perhiasan, kecantikan, bentuk tubuh ketika di kehidupan umum seperti di jalan-jalan,pasar, mall, dll. Jika wanita tua saja dilarang untuk bertabarruj, maka mafhum muwafaqahnya yaitu wanita yang belum berhenti haid lebih dilarang untuk bertabarruj.

Ayat lain yang melarang tabarruj adalah firman Allah SWT:

“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (Qs. an-Nûr [24]; 31).

Allah dalam ayat ini melarang salah satu bentuk tabarruj, yaitu menggerakkan kaki sampai terdengar bunyi gelang kakinya sehingga orang lain menjadi tahu perhiasan wanita yang menggerakkan kaki tersebut, yang berarti wanita tersebut telah menonjolkan perhiasannya. Dalil ini juga menjelaskan akan larangan tabarruj, yaitu menonjolkan perhiasan.

Tabarruj berbeda dengan perhiasan atau berhias. Tidak ada makna syara’ tertentu terhadap kata tabarruj, sehingga penafsiran kata tabarruj diambil dari makna lughawi (bahasa). Tabarruj secara bahasa berarti menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk keindahan tubuh pada laki-laki non muhrim. Dalil lain yang menerangkan bahwa tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, keindahan tubuh pada laki-laki asing adalah seperti yang diriwayatkan dari Abi Musa Asy Sya’rawi:

“Wanita yang memakai parfum, kemudian melewati suatu kaum (sekelompok orang) supaya/sampai mereka mencium aromanya maka berarti dia pezina.”

Diriwayatkan pula dengan sabda Rasulullah Saw:

“Dua golongan penghuni neraka, saya belum melihat sebelumnya adalah: wanita yang berpakaian seperti telanjang dan wanita yang berjalan lenggak-lenggok di atas kepala mereka seperti punuk unta, maka mereka tidak akan masuk surga dan tidak mendapatkan baunya.”

Kata telanjang, berlenggak-lenggok dan seperti punuk unta menunjukkan arti agar tampak perhiasan dan kecantikannya. Atas dasar ini dapat dimengerti bahwa tabarruj tidak sama dengan sekedar perhiasan atau berhias, namun bermakna menonjolkan perhiasan.

Adapun mengenai perhiasan, maka hukum asalnya adalah mubah untuk dikenakan selama belum ada dalil yang mengharamkanya, hal ini sesuai dengan kaidah syara’, Hukum asal suatu benda (asy yâ’) adalah mubah.

Perhiasan adalah asy yâ’ (benda). Perhiasan apapun bentuknya adalah mubah selama belum ada dalil yang mengharamkannya. Sebagian perhiasan memang diharamkan Allah antara lain: seperti yang terungkap dari riwayat Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut orang lain, wanita yang rambutnya minta disambungkan, wanita yang mentato, dan wanita yang minta ditato.”

Walaupun semula berhias dalam kondisi berkabung dibolehkan akan tetapi bisa menjadi haram manakala berhiasnya menggunakan perhiasan yang haram dan apabila berhiasnya sampai menjadikannya termasuk tabarruj yaitu menonjolkan perhiasan dan kecantikan di hadapan laki-laki asing (non mahram). []

Ketika Wanita Harus Bekerja

Orang-orang Barat melakukan kezaliman terhadap wanita dalam arena kerja, aktifitas industri, dan di bidang seni dan sastra. Kenyataan ini tercermin dalam karya seni, cerita, film dan lukisan mereka. Orang-orang Barat hanya menganggap wanita sebagai sebuah makhluk pengkonsumsi, pemboros dan pekerja murahan. Bahkan mengeksploitir aspek sensualitas kewanitaannya. Bagaimana dengan Islam?.

Islam membolehkan wanita bekerja, namun tetap menjaga fitrah dan kemuliaannya. Ada seperangkat aturan Allah yang harus diperhatikan wanita ketika harus bekerja.


Kehidupan Khusus dan Kehidupan Umum

Tugas utama wanita adalah mendidik anak dan mengurus rumahnya dalam rangka menjaga keutuhan keluarga. Oleh karena itu, wanita harus lebih memusatkan perhatiannya pada kehidupan khusus di dalam rumahnya. Berbeda dengan para pria yang bertanggung jawab mencari nafkah, sehingga pusat perhatiannya lebih banyak pada kehidupan umum di luar rumah.

Islam memiliki aturan yang lengkap, baik dalam kehidupan khusus (di dalam rumah) maupun kehidupan umum (di luar rumah/sector publik). Sistem Islam sangat menjaga kehidupan khusus sehingga wanita dan para mahramnya yang hidup di dalamnya merasa tentram, tenang jiwanya, dan dapat beristirahat setelah melakukan kerja keras.

Sistem Islam juga menjamin kehidupan umum, sehingga menjadi kehidupan yang serius dan produktif serta mampu memenuhi kebahagiaan dan kesejahteraan yang dibutuhkan masyarakat. Islam menjaga interaksi pria dan wanita dalam kehidupan umum tidak mengarah pada hubungan yang bersifat seksual. Sehingga kerjasama antara pria dan wanita dalam berbagai bidang kehidupan menjadi perkara yang pasti memberikan manfaat dan kebaikan.

Wanita Bekerja
Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus hendaknya komunitas kaum wanita terpisah dari komunitas kaum pria, misalnya di masjid, di sekolah, dan sebagainya. Hal ini terlihat dalam aturan shaf (barisan) shalat kaum wanita berada di bagian belakang shaf shalat kaum pria.Jadi wanita hendaknya hidup di tengah-tengah kaum wanita atau bersama para mahramnya. Apabila kaum wanita telah selesai menunaikan muamalatnya, ia harus segera kembali hidup bersama kaum wanita atau para mahramnya.

Ketika seorang wanita harus bekerja, maka dia sering berada dalam kehidupan umum dimana terjadi interaksi dengan pria yang bukan muhrimnya. Islam membolehkan adanya interaksi tersebut agar mereka dapat melaksanakan berbagai aktivitas untuk kepentingan masyarakat. Hukum Islam yang sempurna mampu mengatur interaksi tersebut sebatas kerjasama antara pria dan wanita yang selalu berada dalam koridor kesucian dan ketaqwaan.

Pria dan wanita ketika ada di ruang public diperbolehkan melakukan aktivitas dalam rangka melaksanakan risalahNya dalam kehidupan, dan kondusif untuk dakwah Islam dan jihad meninggikan kalimat Allah. Ketika seorang wanita muslimah harus bekerja di luar rumah, maka dia harus memperhatikan rambu-rambu syariah agar tidak menimbulkan kerusakan dan bahaya bagi masyarakat.

Rambu-rambu bagi wanita ketika keluar rumah
Islam melarang wanita untuk keluar dari rumahnya tanpa seijin suaminya, karena suami memiliki hak atas istrinya. Istri yang keluar rumah tanpa seijin suaminya dianggap berbuat maksiyat dan nusyuz (pembangkangan), sehingga tidak lagi berhak mendapatkan nafkah dari suaminya. Ibn Baththah dalam kitab Ahkam an Nisa’ dari penuturan Anas ra menceritakan bahwa ada seorang pria yang sebelum pergi melarang istrinya keluar rumah. Kemudian dikabarkan bahwa ayah wanita itu sakit. Wanita itu meminta ijin kepada Rasulullah saw agar dibolehkan menjenguk ayahnya. Rasulullah menjawab: “Hendaklah engkau takut kepada Allah dan janganlah engkau melanggar pesan suamimu”. Kemudian ayahnya meninggal. Wanita itu kembali meminta ijin untuk melayat jenazah ayahnya. Rasullulah bersabda: “Hendaklah engkau takut kepada Allah dan janganlah engkau melanggar pesan suamimu”. Lalu turun wahyu Allah: “Sungguh, Aku telah mengampuni wanita itu karena ketaatan dirinya kepada suaminya”.

Islam melarang wanita melakukan safar (perjalanan) keluar kota selama sehari semalam, kecuali disertai mahramnya. Rasulullah bersabda: “Tidak dibolehkan seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam, kecuali jika disertai mahramnya”. Aturan ini menunjukkan bahwa wanita harus dijaga keamanan dan kehormatannya.

Islam memerintahkan pria dan wanita agar menundukkan pandangan serta memelihara kemaluannya. QS An Nur: 30-31). Maksudnya adalah pandangan antara pria dan wanita dalam interaksinya di kehidupan umum hanya sebatas ada keperluan dan tanpa syahwat. Hal ini merupakan tindakan pemeliharaan diri yang hakiki dan mencegah terjadinya perbuatan haram. Sebab, mata merupakan sarana praktis ke arah perbuatan-perbuatan yang terlarang.

Islam memerintahkan wanita agar memiliki sifat malu dan mengenakan pakaian yang sempurna dalam kehidupan umum. Pakaian yang sempurna akan menutup seluruh tubuh wanita kecuali muka dan telapak tangan. Dengan cara mengulurkan kerudungnya sehingga menutup kepala, leher dan dadanya; serta menghamparkan jilbabnya menutupi seluruh tubuh hingga kakinya. Sifat malu juga tercermin dari gerak-gerik yang dijaga agar tidak menggoda lawan jenisnya. Termasuk cara berbicara yang tidak mendayu-dayu.

Wanita muslimah ketika harus bekerja tidak menelantarkan tugas pokoknya di rumah. Pekerjaan wanita dalam mendidik anak dan melayani suami tidak dapat digantikan oleh orang lain. Dari berbagai penelitian membuktikan, anak-anak yang berhasil adalah yang mendapat curahan kasih sayang ibunya. Anak-anak yang tumbuh dalam pendidikan ibunya, akan menjadi generasi yang tangguh, dibandingkan mereka yang kering kasih sayang.

Islam melarang pria dan wanita untuk berkhalwat. Rasulullah bersabda: “Tidak diperbolehkan seorang pria dan wanita berkhalwat, kecuali jika wanita itu disertai mahramnya”. Khalwat adalah berkumpulnya seorang pria dan seorang wanita di suatu tempat yang tidak memberikan kemungkingan orang lain untuk bergabung dengan keduanya, kecuali dengan ijin keduanya. Khalwat menjadikan pria dan wanita hanya melihat lawan jenisnya dari sudut pandang seksual semata, sehingga menjadi sarana pemicu kerusakan. Sehingga harus diperhatikan desain ruangan kerja yang tidak menjadikan para karyawannya berkhalwat.

Islam melarang wanita untuk bertabarruj. QS An Nur: 60. Tabarruj adalah menampakkan perhiasan (yang berada di bagian tubuh yang merupakan aurat yang harus ditutup) dan kecantikannya kepada pria yang bukan mahram. Misalnya, gelang kaki (QS An Nur: 31). Sabda Nabi: “Siapapun wanita yang memakai wewangian kemudian melewati suatu kaum agar mereka mencium baunya, berarti ia seorang pezina”. “… wanita yang membuka auratnya seraya berpakaian tipis merangsang, berlenggak- lenggok, dan banyak lagak. Mereka tidak dapat masuk surga dan mencium bau surga, padahal bau surga dapat tercium dari jarak yang sangat jauh”.

Islam melarang pria dan wanita untuk melakukan amal perbuatan yang dapat membahayakan akhlak. Seorang wanita dilarang melakukan pekerjaan yang mengeksploitasi aspek sensualitas kewanitaannya untuk menarik perhatian konsumen atau kliennya.Jadi wanita bekerja karena kemampuan yang dimilikinya, bukan hanya bermodalkan kecantikan dan kemolekan tubuhnya.

Kerjasama antara pria dan wanita harus bersifat umum dalam urusan muamalat, bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahramnya, jalan-jalan bersama, saling curhat. Tujuan kerjasama antara pria dan wanita adalah agar wanita dapat segera mendapatkan hak-haknya dan kemaslahatannya, dan dapat melaksanakan kewajibannya.

Islam melarang tindakan mencemarkan nama baik wanita-wanita suci, yakni dengan cara melontarkan tuduhan zina (qodzaf) kepada mereka (QS An Nur: 4, 23). Syariat Islam memang telah mengunci setiap lisan yang biasa meyebarkan kata-kata buruk dan mencemari kehormatan orang lain, sehingga kesucian jamaah Islam dapat terjaga.

Khotimah
Ketika Islam membolehkan wanita bekerja dalam kehidupan umum, telah diperlengkapi dengan seperangkat aturan yang dapat menjaga kesucian dan kemuliaan masyarakat. (Ummu Hafizh)

Jagalah Lisanmu!

Mu’az bin Jabal ra bertanya tentang perbuatan yang dapat memasukkan ke surga dan menjauhkan dari neraka. Rasululloh saw bersabda: …beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya sedikitpun, shalat, zakat, puasa Ramadhan dan haji. Pintu-pintu surga adajah puasa, sodaqoh dan shalat malam. Pokok segala perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah Jihad. Sesuatu dapatmembuat kalian memiliki semua itu. Rasulullah memegang lidahnya lalu bersabda: Jagalah ini. Muadz bertanya: Ya Nabi, apakah kita akan dihukum atas apa yang kita ucapkan? Beliau bersabda: …adakah yang menyebabkan seseorang terjungkal wajahnya di neraka selain buah dari lisan mereka (HR Tirmizi)

Sahabat bertanya tentang seorang wanita ahli sholat malam namun suka menganggu tetangga dengan lisannya. Rasulullah berkata,” Dia di neraka!” Kemudian sahabat bertanya tentang seseorang yang sedikit ibadahnya namun tidak suka menganggu tetangga dengan lisannya. Rasulullah bersabda,”Dia di surga!”.

Hati-hati dengan Lisan

Lisan jauh lebih tajam dari pedang. Luka karena pedang dapat disembuhkan. Luka karena lisan akan terus terkenang. Doa orang yang terzalimi cepat diijabah Allah. “Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, yaitu mulut dan farji” (HR Tirmidzi).

“Orang yang paling banyak dosanya di hari kiamat adalah orang yang paling banyak terlibat dalam pembicaraan batil” (HR Ibnu Abiddunya.)

“Seorang hamba jika berbicara dengan satu kalimat yg tidak benar maka tergelincir ke neraka yg lebih jauh antara timur dan barat.”. “Sesungguhnya ada orang yang bicara dengan ucapan yang Allah murkai, ia tidak menduga akibatnya, lalu Allah catat itu dalam murka Allah hingga hari kiamat”(HR Ibnu Majah)

"Tidak istiqomah iman seseorang sebelum istiqomah hatinya, dan tidak akan istiqomah hatinya sebelum istiqomah lisannya"(HR Ahmad).

Kejahatan Lisan

Lisan menimbulkan 2 bencana besar. Pertama: diam terhadap kebenaran (setan bisu).“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika dia tidak mampu maka rubahlaha dengan lisannya…”. Kedua: bicara yang bathil (setan bicara). Kejahatan lisan bermacam-macam bentuknya.
Ghibah. "Engkau membicarakan saudaramu tentang hal yang dia benci. Jika benar ada padanya maka engkau telah ghibah…" (HR. Muslim). Ghibah termasuk dosa besar yang tak diampuni Allah sebelum dimaafkan oleh orang ybs. Ketika mi'raj, Rasul melihat kaum yang berkuku tembaga mencakar wajah dan dada mereka. Jibril mengatakan: “Mereka telah memakan daging orang dan mencela kehormatan orang”.

Di masa Rasulullah saw ada 2 wanita yang hampir pingsan karena puasa Ramadhan. Ketika ditanyakan tentang kebolehan membatalkan puasa, beliau malah memberi mangkok dan memerintahkan untuk memuntahkan apa yang telah mereka makan ke dalam mangkok. Mereka memuntahkan darah segar dan daging lunak hingga mangkok penuh. Mereka membatalkan puasa dengan melakukan larangan Alloh, yaitu bergunjing”.

Fitnah (membicarakan aib orang tetapi tidak ada faktanya), dosanya lebih keji daripada membunuh (QS Al-Baqoroh:217).

Naminah/adu domba (menyebarkan ucapan satu kaum kepada kaum yang lain untuk merusak keduanya). "Tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba” (HR Bukhari)

Mengutuk/melaknat. “Siapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti membunuhnya” (HR Bukhari). Ucapan laknat bisa kembali kepada orang yang mengucapkannya”.

Mencela/mencaci Maki. “Janganlah kalian mencaci orang-orang yang telah meninggal karena mereka telah menemui (balasan dari) perbuatan mereka.” (HR Bukhari).” ” Para sahabat bertanya : “Bagaimana seseorang mencaci maki orang tua sendiri? Jawab Nabi: “Dia mencaci maki orang tua orang lain, lalu orang itu berbalik mencaci maki orang tuanya”(HR Ahmad). “Jika ada orang yang mencela kekuranganmu, jangan kau balas dengan mencela kekurangannya. Maka dosanya ada padanya dan pahalanya ada padamu. Janganlah kamu mencaci maki siapapun” (HR Ahmad.)

“Tidak tersesat suatu kaum setelah mendapat hidayah kecuali mereka berdebat” (HR Tirmidzi). Imam Malik berkata : “Perdebatan akan mengeraskan hati dan mewariskan kekesalan”.

“Orang yang paling dibenci Allah adalah yang suka bermusuhan dan bertengkar”(HR Al Bukhari)

“Orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku di hari kiamat adalah yang buruk akhlaknya, yaitu banyak bicara, menekan-nekan suara, dan menfasih-fasihkan kata”(HR Ahmad)

“Orang mukmin bukanlah orang yang suka menghujat, mengutuk, berkata keji dan jorok” (HR Tirmidzi)

“Barang siapa yang mencela dosa saudaranya yang telah bertaubat, maka ia tidak akan mati sebelum melakukannya” (HR Tirmidzi). “Jangan mencela makanan yang sudah tersaji” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

"Orang-orang yang memperolok-olok manusia akan dibukakan pintu surga. Lalu dikatakan kepadanya, "Mari, marilah!" Orang itu datang dengan kesusahan dan kegundahannya. Ketika sampai, pintu surga itu terkunci buat dia. Terus menerus demikian, sehingga pintu itu dibukakan bagi orang tersebut, lalu dikatakan kepadanya. "Mari, Marilah!", Maka ia tidak datang lagi ke pintu itu"(HR. Ibnu Abi Dunya)

Menceritakan rahasia suami-isteri. “Orang yang paling buruk tempatnya di hari kiamat, adalah laki-laki yang telah menggauli istrinya, kemudian ia ceritakan rahasianya”(HR. Muslim)

“Dusta akan mendorong untuk curang. Kecurangan akan mendorong ke neraka. Orang yang berdusta akan terus berdusta hingga dicatat Allah sebagai pendusta” (Muttafaq alaih.). "Tiga ciri orang munafik, apabila bicara berdusta, apabila berjanji mengingkari dan apabila dipercaya berkhianat” (HR Bukhari dan Muslim). “Sesungguhnya orang munafik itu tempatnya di kerak neraka”.

Kesaksian palsu. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS al Isra:36). Qotadah berkata, “Jangan mengatakan ‘Aku melihat demikian’ padahal tidak melihatnya, ‘Aku mendengar demikian’ padahal tidak mendengarnya, ‘Aku tahu demikian’ padahal tidak mengetahuinya”.

Gurauan bohong. “Ada orang yang mengucapkan kata-kata agar teman-temannya tertawa namun kata-kata itu menjerumuskannya (ke neraka)…”(HR Ahmad). “Celaka orang berbicara dusta untuk ditertawakan orang…” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi).

“Jauhilah olehmu perbuatan hasud, karena menghilangkan kebaikan seperti api memakan kayu bakar”.

Tips Menjaga Lisan.

Muslim yang paling baik adalah, “Seseorang yang membuat muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya” (HR Muslim). Mereka menjaga lisannya dari segala ucapan yang bisa menyakiti hati orang.

Tidak menghina. "Hai orang-orang yang beriman! Janganlah segolongan kalian menghina golongan yang lain, boleh jadi (mereka yang dihina) lebih baik (dari yang menghina)" (QS. Al Hujurat 49:11).

Tidak su’udzon. Selalu husnudzan (berbaik sangka). “…jauhilah kebanyakan prasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa” (QS Al Hujurat: )

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia mengucapkan kata-kata yang baik atau diam” (HR Bukhari Muslim). Bila bicara dan diam sama maslahatnya, maka sunnahnya adalah diam. Pembicaraan yang mubah bisa masuk dalam pembicaraan yang haram/dibenci”.

“Setiap ucapan Bani Adam membahayakan dirinya, kecuali amar ma’ruf nahi munkar dan Dzikrullah” (HR Trimidzi)

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata, “ Sesungguhnya aku termasuk muslim.” (QS. Al Fushilat : 33)

Dengarkan pembicaraan yang haq. Jika mendengar kebatilan, kita harus menolong orang yang zalim dan dizalimi dengan mengalihkan pembicaraan, menghentikan, atau meninggalkannya.

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan mereka kecuali bisikan dari orang yang menyuruh bersedekah, berbuat ma'ruf, atau perdamaian di antara manusia” (QS.4:114)

Imam Asy-Syafi'I berkata, "Berpikirlah dahulu sebelum bicara. Jika maslahat bicaralah. Jika mudharat/ragu-ragu, diamlah. Manusia diberi dua telinga dan satu mulut supaya lebih banyak mendengar daripada bicara.

“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali diam namun berpikir atau berbicara dengan ilmu.” Sufyan Ats-Tsauri

Ibnu As-Sammak berkata, "Binatang buasmu ada di lisanmu, karena bisa menfitnah siapa saja yang lewat di depanmu, kecuali tiga hal yang menghalangimu; menyebut perkara yang ada padamu, menyebut perkara dimana kesalahanmu lebih darinya, menyebut urusan dimana Allah telah memaafkanmu.

"…berkatalah dengan perkataan yang benar". (QS Al Baqarah:263)

Berkata sesuai tempatnya. Tiap perkataan ada tempat terbaiknya dan tiap tempat ada perkataan terbaiknya.

Tidak kasar dalam berbicara. Hati-hatilah, kadang kelihatannya seperti memberi nasehat tetapi ternyata mencaci maki (mengutuk/mencela) anak/suami/istri/murid/bawahan.. Ketika ada orang kafir terbunuh dalam perang Badar, Nabi bersabda : "Janganlah kamu memaki mereka, karena dapat menyakiti orang-orang yang hidup" (HR An Nasai)

Berkata yang bermanfaat. "Diantara tanda kebaikan akhlak muslim adalah meninggalkan apa yang tidak perlu"(HR Tirmidzi). "Demi Allah Aku tidak suka menceritakan tentang seseorang". (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Ummu Hafizh

Written by Shodiq Ramadhan |