Rabu, 15 Desember 2010

Curcol

Dimanapun tempat kita berpijak disitulah seharusnya menjadi tempat yg sesuai dengan harapan.
Namun beda masa beda pula pertemanan. Flashback pada masa lalu menjadi cerita indah dimanapun aku berada, sedari dulu ku rasa indah nya pertemanan. Hingga kadang record masa itu kembali, senyum memberikan ku sedikit arti.
Tidak dengan masa kini. Dimana aku dalam rasa bersyukur karena setidaknya cita-citaku menyelesaikan kuliah dan bekerja membuatku menjadi mandiri.
Setahun sudah aku disini. Menyenangkan dapat diterima dalam keluarga besar perusahaan ini. Sebagian besar dari mereka bersuku yang tidak sama denganku. Bahkan bahasa kebangsaan dalam perusahaan adalah bahasa yang mayoritas itu. Bukan hal yang baru bagiku berada diantara suku yang berbeda. Akupun selalu merasakan aura positif mereka atas keberadaanku.
Awalku memulai penerimaan bagi mereka, mencoba memahami setiap orang dalam lingkungan kerja ku. Dalam satu ruangan itu aku yg paling belia, jadi setiap kata dan perbuatan harus sebaik-baik terkendali disini. Selain itu aku pun harus menggunakan ilmu padi yang selalu di tanamkan ibuku agar aku menjadi pribadi yang santun. Tak akan ada artinya ijazah dengan kesombongan. Sebab setiap ilmu mengajarkan etika.
Dasar pengalaman kerja ku awali dari sini. Belajar memahami alur kerja. Untuk memahami apa yang harus aku kerjakan. Setiap pegawai disini adalah senior bagiku. Aku berusaha untuk belajar dari siapapun. Padahal aku tahu banyak yang harus di benahi dalam perusahaan ini.
Dalam masa penyesuaian aku belajar dari satu rekan dalam divisi yang sama. Dia adalah seniorku. Ku anggaplah begitu karena lebih banyak lah ia memiliki ilmu kerja dalam perusahaan ini. Mengawalinya yaitu dengan menjawab setiap pertanyaan yang ingin mereka ketahui tentang ku. Dan menjelaskan nya. Dan aku menanyakan setiap yang harus aku ketahui tentang pekerjaan ataupun lingkungan kantor. Terkadang bagiku senior ku ini menjawab dan menceritakan yang belum dan tanpa ku tanyakan. Terutama berkaitan dengan seseorang. Terbukalah semua. Aku melihat ia (seniorku) memang tampak gesit dalam pekerjaannya. Ia memiliki memori yang cepat. Akan tetapi mungkin bagiku yang kurang terbiasa atas sikapnya membuatku merasa ia bukanlah orang yang istimewa di balik kelebihannya. Suara menggelegar, intonasi nada yang kaku dan tempo irama perbincangan yang menurutku kasar, membuatku sering berhati-hati ketika berbicara apapun kepadanya. Dan satu hal tak pernah luput darinya satu kritik berpadu dengan notasi nada yang mengancam. Seakan semua bisa menjadi alasan untuk di persalahkan. Berseberangan dengan harapanku. Ia pun sedikit gemar membuka cerita. Cerita apapun itu. Kadang aku merasa mulai tidak nyaman atas ketidakistimewaannya. Ia bertindak seakan mengetahui segalanya. Kadang memang membantu tapi kadang malah membuatku merasa mengecohkan bahkan seperti memperolok orang lain. Karena sikapnya yang kurang istimewa itulah aku mulai membatasi diri. Membatasi komunikasi kami. Jika tidak di perlukan bicara aku lebih nyaman untuk menutup rapat mulutku. Itulah penyesuaian yang sampai sekarang aku lakukan dalam kantor. Bukan kendala bahasa yang mayoritas di gunakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar